Bahasa Daerah: Diantara Kuno dan Ego

Konten [Tampil]


    Pernah nggak sih kalian ngobrol sama kakek atau nenek, terus mereka tiba-tiba ngomong pakai bahasa daerah yang bikin kita cuma bisa manggut-manggut sambil pura-pura paham? Nah, itu saya banget. Waktu kecil, tiap kali diajak ngobrol sama aki saya (kakek), rasanya seperti ikut kuis berhadiah tapi nggak tahu apa pertanyaannya. Kagetnya, makin ke sini saya sadar kalau bahasa yang sering dipakai aki dulu mulai jarang terdengar. Bahkan anak-anak kecil di kampung saya sekarang lebih fasih bilang "bro, gue chill dulu ya" daripada "eh dulur, urang reureuh heula atuh". Miris nggak sih?

    Bahasa Daerah Diujung Tanduk

    Bahasa daerah itu ibarat kaset pita di era Spotify. Klasik, berharga, tapi makin ditinggalkan. Menurut data, dari sekitar 700 bahasa daerah yang ada di Indonesia, puluhan di antaranya sudah kritis, bahkan ada yang benar-benar punah. Tragisnya, beberapa bahasa itu hilang tanpa sempat kita ucapkan "selamat tinggal".

    Kalau ditanya kenapa ini terjadi, jawabannya nggak sesederhana "ya, zaman udah modern sih". Ada banyak faktor yang bikin bahasa daerah mulai pudar. Salah satunya, banyak orang tua yang memilih ngomong pakai bahasa Indonesia karena takut anaknya "nggak gaul" atau susah beradaptasi di sekolah. Padahal, bisa bahasa daerah tuh justru bikin kita lebih keren. Ibarat jago sulap, kita punya trik ekstra yang nggak semua orang bisa.

    Dampaknya Nggak Main-Main

    Kehilangan bahasa daerah itu nggak cuma soal nggak bisa lagi bilang "hatur nuhun" atau "matur suwun". Lebih dari itu, kita berisiko kehilangan cara berpikir, sudut pandang, bahkan filosofi hidup yang terkandung dalam bahasa tersebut.

    Coba bayangkan, bahasa daerah itu kan sering punya istilah yang unik banget buat ngegambarin sesuatu yang mungkin nggak ada padanannya di bahasa lain. Misalnya, di Sunda ada kata "ngajomantara" yang berarti berangan-angan tinggi tanpa batas. Nah, kalau kata ini sampai hilang, siapa lagi yang mau ngajarin kita cara bermimpi besar dengan cara yang khas?

    Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

    Nah, ini dia yang seru. Kita nggak harus jadi profesor linguistik buat menyelamatkan bahasa daerah. Ada banyak cara asyik yang bisa kita coba:

    1. Ngobrol Pakai Bahasa Daerah Jangan malu pakai bahasa daerah di rumah. Kalau takut dibilang kuno, tenang... pakai saja versi "campuran". Misalnya, "Bro, kamu teh kudu tenang atuh..." Nah, keren kan?
    2. Konten Digital Berbahasa Daerah Sekarang zamannya TikTok, Reels, dan YouTube Shorts. Coba deh bikin konten pakai bahasa daerah. Siapa tahu malah viral dan bisa bikin tren baru. Nggak percaya? Lihat aja fenomena lagu-lagu daerah yang sekarang makin populer berkat media sosial.
    3. Belajar Lewat Permainan atau Cerita Saya pernah lihat ada komunitas yang bikin board game pakai istilah bahasa daerah. Seru banget! Cara ini bisa bikin anak-anak jadi lebih tertarik belajar bahasa nenek moyangnya tanpa merasa kayak lagi ikut les bahasa kuno.
    4. Gunakan di Acara Resmi Siapa bilang bahasa daerah cuma buat ngobrol santai? Coba deh mulai berani pakai bahasa daerah di acara formal. Misalnya, waktu sambutan pernikahan atau pidato organisasi. Dijamin langsung jadi pusat perhatian (dengan cara yang baik tentunya).
    5. Gabung ke Komunitas Bahasa Kadang, kita butuh partner buat tetap konsisten. Gabung ke komunitas yang aktif mempromosikan bahasa daerah bisa jadi langkah bagus. Seru kan, bisa ngobrol sambil belajar budaya?

    Bahasa Daerah Itu Gengsi, Bukan Malu-Maluin

    Jadi gini... kalau kita bisa bahasa daerah, itu kayak punya "cheat code" di kehidupan sosial. Bisa bikin orang tua senyum bangga, bisa jadi topik obrolan yang unik, bahkan bisa kasih kita nilai plus di dunia kerja.

    Coba bayangkan, lagi ada tamu penting dari kampung yang cuma bisa bahasa daerah, terus cuma kita yang bisa ngobrol sama dia. Wah, langsung naik level jadi "pahlawan keluarga" deh.

    Intinya, bahasa daerah itu bukan sekadar soal komunikasi, tapi soal identitas. Jangan sampai generasi berikutnya cuma bisa dengerin lagu-lagu daerah dalam bentuk remix EDM tanpa tahu makna aslinya. Yuk, mulai ngobrol pakai bahasa daerah biar identitas kita nggak cuma jadi kenangan.

    Siapa tahu, suatu hari nanti kamu bisa bilang ke anak cucu kamu, "Eh, dulu ayah/ibu tuh pernah viral gara-gara konten berbahasa daerah loh." Keren kan?




    أحدث أقدم